moshi-moshi minna san..
hufff sudah hiatus banget ya aku kagak pernah posting
nah kali ini terlintas begitu saja aku pingin posting tugasku..
hehe tugas buat cerpen. mmmmm memang bikin pusing seh tapi apa mau dikata??
judul cerpennya ini dari temenku.. dan semua karakter di cerpen ini terinspirassi dari temenku dan aku sendiri.
hehe..
yonde kudasai ne!!!
apakah aku ada bakat jadi penulis ??????
hohohoho,,
douzo!!
hufff sudah hiatus banget ya aku kagak pernah posting
nah kali ini terlintas begitu saja aku pingin posting tugasku..
hehe tugas buat cerpen. mmmmm memang bikin pusing seh tapi apa mau dikata??
judul cerpennya ini dari temenku.. dan semua karakter di cerpen ini terinspirassi dari temenku dan aku sendiri.
hehe..
yonde kudasai ne!!!
apakah aku ada bakat jadi penulis ??????
hohohoho,,
douzo!!
Bongkahan Es Itu Telah Menguap
Sang surya enggan menampakkan sinarnya, matahari pagi itu lebih memilih bersembunyi di balik awan mendung di ufuk timur sana. Senada dengan Galuh yang terlihat kusut pagi itu. “ Srek-srek-srek...” Seperti biasa terdengar bunyi gesekan pasir dengan sepatunya tak heran banyak sekali sepatu jebol berderet rapi di rak sepatunya. Rambutnya terlihat awut-awutan, jalannya sempoyongan, mulutnya sibuk mengunyah permen karet, sesekali menguap lebar bak kuda nil, seketika itu mengusap matanya yang berair. Begitulah gaya Galuh melangkah ke kelas.
“Pagi. . . . . . . !” style="font-family: arial;font-family:lucida grande;font-size:100%;" dengan sok semangat Galuh mengucapkan salam pada teman sekelasnya. Lagi-lagi Galuh masih menyeret langkah menuju mejanya. Sejenak ia berdiri clingak-clinguk memperhatikan sekeliling, tangannya sibuk mengusap mejanya yang berdebu. Lalu ia duduk dan sedikit tertunduk, siapa kira ada manusia yang bisa langsung tertidur pulas dengan posisi seperti itu.
Tak lama datang Denissa, ia melenggang penuh kharisma yang membekukan aura negatif yang dibawateman sebangkunya itu. “ Galuh bangun! Jangan kebiasaan tidur di sekolah!” dengan nada datar dan tampang yang dingin seperti bongkahan es di kutub utara Denissa mencoba membangunkan Galuh dari tidurnya.
Tiba-tiba “Galuh.............! mana gambar lo? Kalo gue menang, lo kudu traktir gue pulang sekolah nanti plus gambar lo buat gue titik!” teriak Laras sahabatnya yang selalu mengajak Galuh taruhan gambar tiap minggu. Memang gadis yang sama tomboynya dengan Galuh ini sangat hobi menggambar dan membaca komik, tak peduli di sekolah ataupun di rumah. Herannya jabatan tiga besar di kelas tak pernah luput darinya.
“ Owh, jadi taruhan lagi ya? Sampe-sampe bisa molor di sekola?” Sahut Denissa sinis
“ Mana! Mana! Gambarnya? Cepet keluarin!” tak sabar Laras menggoncang-goncangkan tubuh Galuh yang sedikit gemuk hingga membuat semua lemak di tubuhnya bergetar hebat.
"Sabar.” Dengan mata yang masih sayu Galuh memutar badannya 90 derajat, berusaha meraih tas di belakangnya dan mengeluarkan karnyanya.
Lantas kedua gambar itu ditata di atas meja Denissa, seperti biasa mereka meminta Denissa menjadi juri. Mereka berdua selalu berkompetisi dalam hal apapun, bagi mereka “Sahabat Adalah Rival”.
Denissa sibuk menilai, ia menaikkan kacamatanya. “ Sepertinya gambar Laras lebih bagus, mmm oh tidak, tidak, gambar Galuh juga enggak kalah bagus.” Dengan gaya coolnya ia berpikir sambil mengacak-acak rambutnya agar terlihat lebih keren.
“ Yo wes! Ini lebih bagus”. Dengan yakin Denissa menunjuk gambar Laras yang dilihat dari sisi manapun lebih apik dibandingkan Galuh. Seperti memang sudah ditakdirkan, Galuh selalu satu langkah di belakang Laras.
“ Ting Tung Ting Tung...........!“ Begitulah bunyi bell tanda masuk SMA ini, seperti nada-nada sering terdengar di stasiun kereta.
“ Ye ye gue menang lo kalah.” Laras yang girang terus mengucapkan kata-kata itu di depan muka Galuh.
“ Eh Laras! sejak kapan kamu ngomongnya jadi lo-lo gue-gue gitu? Ra patut blass! Biasanya juga pake kulo, sampean geh.” Cela Galuh.
“ Biarin, biar aku disangka gaul.” Jawab Laras.
“ Gaul endasmu kui!” Sahut Galuh keras.
“ Sssssst tutup mulut kalian guru udah masuk tuh, sekarang waktunya belajar, awas kalian berisik!” Denissa mengingatnya kedua sahabatnya dengan tatapan mata yang tajam bak pedang samurai sambil menepuk pundak Galuh dengan cukup keras.
“ Duh Gusti, bisa mampus aku lama-lama duduk di samping es idup ini.” Bisik Galuh pada Laras.
“ Ngomong apa kamu Luh? Aku masih bisa denger! Besok kalo bisik-bisik lebih keras lagi ya biar satu kelas denger!” Sindir Denissa dihiasi senyum pahit yang menjadi andalannya.
Di kelas mereka sangat kompeten dan profesional tak heran banyak teman yang mengandalkan mereka saat ada ulangan harian. Pada jam pelajaran mereka sering menjadi guru privat bagi teman sekelasnya.
***
Sepulang sekolah Galuh menepati janjinya pada Laras. Ia juga berniat mengajak Dennisa tapi seperti biasa Denissa selalu menghilang tiba-tiba. Untung saja mata elang Galuh berhasil menangkap sosok Denissa yang sedang berjalan sendirian. Sekencang kijang Galuh berlari menghampiri Denissa.
“ Woy nis...!” Galuh memanggil sambil menepuk pundak Denissa kuat-kuat
“Aaaaaargh, sakit !” Denissa kaget bukan kepalang. Denissa hanya meringis kesakitan, tangannya pun menekan dada kirinya, wajahnya berubah pucat pasi. Galuh meraih tangan Denissa, menyeretnya menuju tempat makan favoritnya.
“ Mau kemana sich Luh?” Denissa bertanya dengan nafas yang masih tersegal-sengal. “ Makan bareng yuk.” Ajak Galuh, terang saja Galuh anak orang kaya tinggal bilang langsung ada, ibarat kun fa ya kun. Hanya saja ia lebih memilih untuk ngekost ketimbang bertemu kakaknya setiap hari.
“ Gak mau, aku mau pulang!’’ Denissa menghempaskan tangan Galuh.
“ Kamu kok pucet banget? Kenapa? Ada kabar dari ayahmu ya? Apa kabarnya?” Galuh memburu Denissa dengan rentetan pertanyaan.
“ Apa! Ayah? Mati paling.” Jawab Denissa dingin.
Galuh menjadi tak bergeming melihat ekspresi Denissa kala itu. Tidak pernah ia melihat Denissa yang begitu dingin, tatapan matanya juga penuh kebencian.
Galuh mendatangi Laras di rumah makan favorit mereka.
“ Mana Denis? Eh kok kamu gemeteran gitu?” Tanya Laras penasaran.
“ Duh Gusti... angker banget tu orang.” Jawab Galuh masih gemetaran.
“ Kasian Galuhku.” Laras mengelus kepala Galuh.
Laras selalu melakukan hal ini saat sahabatnya merasa ketakutan, sedih, ataupun marah. Galuh diperlakukan seperti adiknya sendiri padahal jelas-jelas Galuh lebih tua enam bulan dari Laras. Galuh memang terlihat kuat dan sangar, tapi hanya pada Laras Galuh menunjukkan kodratnya sebagai wanita.
“ Ras tadi abis aku kagetin kok Denissa jadi pucet banget ya? Trus dia neken dada kirinya, kayaknya sakit banget, tanganya juga dingin keringetan pula.” Galuh mengadu.
“ Haduh jangan-jangan Denissa punya penyakit jantung lagi.” Laras menebak sekenanya.
Galuh heran Laras bisa tahu penyakit Denissa tanpa melihat kondisinya saat itu. Maklum saja ciri-ciri penyakit itu sudah sering dibacanya. Laras memang satu langkah lebih aktif belajar dibandingkan Galuh itu sebabnya Galuh senantiasa mengekor di belakang Laras.
***
Di kamar kostnya yang sederhana ia tak henti berpikir kenapa Denissa bisa menjadi sedingin itu. Galuh merasa bersalah karena telah mengejutkan gadis kurus itu. Galuh terus penasaran mengapa Denissa begitu marah ketika membicarakan ayahnya. Galuh tetap tidak bisa tidur dan memutuskan untuk menggambar bahan taruhan minggu depan.
***
Minggu pagi Galuh biasa jogging bersama Laras dan Denissa karena jarak rumah mereka yang hanya hitungan jengkal. Sialnya Galuh selalu mendapat masalah dengan anjing tetangganya.
“ Laras...! tolong aku, cepat bangun... singkirkan anjing ini dariku...!” Galuh berteriak tak karuan, ia berusaha lari sekencang-kencangnya disusul anjing yang setia mengejarnya setiap pagi. Pantas saja larinya kini secepat kijang.
Laras datang sebagai pahlawan kesiangan, Galuh sudah keburu memanjat pohon jambu untuk menyelamatkan diri.
“ Eh galuh, turun! Anjingnya sudah aku urus.” Teriak Laras.
‘ Dikejar anjing lagi ya tu anak? Heh.” Tanya Denissa diakhiri senyum sinis dari atas sepedanya. Diantara mereka hanya Denissa yang paling tidak kuat berlari.
Perlahan-lahan Galuh turun, lantas ia rebahkan badannya ke hamparan rumput di bawah pohon jambu yang mereka sebut markas. Keringat bercucuran dari tubuh bongsor Galuh, Laras mengelus kepalanya lalu memberinya minuman.
“ Ngapain dikasih minum, noh liyat jambu di pohon itu dah abis!” Denissa menyela, seperti biasa dengan nada dingin dan sinis.
“ Mumpung ada lo nis... hehe.” Jawab Galuh sambil cengengesan.
Galuh meminta maaf atas perlakuannya kepada Denissa kemarin dan mencoba menanyakan soal ayahnya lagi.
“ Kamu keliyatan marah banget waktu aku tanya soal ayah? Kenapa?”
Kali ini bukan usapan lembut penuh kasih sayang yang seperti Laras lakukan yang ia dapatkan, melainkan sebuah pukulan keras yang berhasil didaratkan Denissa di keningnya sebelum menjawab pertanyaan itu.
“ Aku benci sama laki-laki itu!” Denissa berteriak sejadi-jadinya.
Hari itu Denissa lebih dinamis menggerakkan bibir tipisnya. Saat itu jelas sekali terdengar ia begitu membenci ayahnya. Hanya hari itu Denissa bisa begitu terbuka. Biasanya dia hanya duduk di pojok kelas, sendiri ditemani rasa benci yang mendalam. Tapi...
“ Yah mau gimana lagi, mau gimana juga aku lahir karena dia, darah laki-laki itu mengalir di tubuhku, darahku juga darahnya. Kalo aku benci dia berarti aku benci diriku juga dong? Gusti Allah aja mau maafin umatnya kenapa aku yang cuma anak ingusan ini gak?” Kata-kata sepanjang itu terucap dari seorang Denissa yang terkenal pelit bicara, tapi nada datar dan dingin masih kental terasa.
“ Tu Luh, dengerin kata Denissa pulang aja ke rumah terus maafin kakakmu!” timpal Laras
Galuh tertegun sejenak. “ Iya juga sih.” Batin Galuh.
“ Aawh.” Suara itu terdengar lirih dari Denissa yang lagi-lagi menekan dada kirinya.
“ Napa nis?” Buru Galuh khawatir.
“ Ah gak papa. Udah ya aku pulang dulu. Selamat tinggal.” Denissa mengibaskan tangannya membelakangi Galuh dan Laras, kemudian mengayuh sepedanya.
“ Loh ko selamat tinggal?” Tanya Galuh pada Laras sarat kebingungan. Laras pun mengangkat bahunya.
***
Berhari-hari setelah minggu itu Denissa tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah lagi, sama sekali tidak ada kabar, membuat Galuh dan Laras cemas setengah mati. Hingga suatu siang Galuh mendapat sms dari Laras yang berusaha memberi tahu kabar Denissa.
“Aku udah ketemu Denissa, sekarang ke rumah Denissa ya! Aku tunggu.”
Membaca sms tersebut rona bahagia terpancar dari wajah cabi Galuh. Matanya berkaca-kaca, ia berlari sekencangnya menuu rumah Denissa. Galuh tak menghiraukan anjing yang mengejar di belakangnyal, air matanya tak sanggup ia bendung lagi, tak sabar ingin bersua dengan sahabatnya.
Sesampainya di rumah Denissa, Galuh hanya terdiam, tubuhnya tiba-tiba kaku, air mata yang terus mengalir ketika berlari kini seakan benar-benar habis. Tatapan matannya kosong, sekujur tubuhnya gemetar. Lalu Laras menghampirinya, memeluknya erat dan mengelus kepalanya.
5 komentar:
cah cerpen nya bagus bangetz aku suka
aku mau tanya
apa yang jantungan itu kau ambil dari aku???
*GR mode on*
:p
iyau ne.... dari kamuh..
hehehe sorry ye
wiw, panjang kali... tp bagus tulisannya sip sip ...
si tika blognya ganti apa gimana ya ?
kok gak bisa link yang dulu.. haduuuh
jangan lupa mampir tempatku juga ya, happy blogging,,
hoo.. yang Laras dari cpa to?
*iku2n ge er kyak akane*
blognya lucuuuu ^^..
ceritanya bagus,, good job.
o iya hajimashite... aku bloger baru...
Posting Komentar